Kamis, 23 Oktober 2008

Kisah lain Thalhah (2)

Matahari sudah kembali ke peraduannya. Senja sudah menggayut di atas jazirah Arabia. Bulan tidak menampakkan dirinya, sehingga sekujur kota Mekkah sudah dalam keadaan gelap gulita. Suhu udara sudah sangat dingin. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan tidak ada aktivitas yang bisa dikerjakan di luar rumah. Sebagian penduduk Mekkah sudah mengurung diri di dalam rumahnya, yang hanya diterangi oleh lampu-lampu berbahan bakar minyak unta. Sebagian lagi sudah berbaring di atas tempat tidur, membungkus dirinya dengan selimut dan segera terbang ke alam mimpi.

Tetapi tidak untuk orang-orang pencari kebenaran sejati. Kini mereka sudah berkumpul di kaki bukit Shafa. Satu per satu datang ke kaki bukit Shafa. Di sana sudah ada Abu Bakar. Berikutnya tiba Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dan terakhir hadir Abdurrahman bin Auf. Mereka akan berangkat ke kediaman Arqam bin Abil Arqam di lereng bukit Shafa, untuk menemui Rasulullah dan berbai’at kepadanya.

Mereka segera berjalan menuju bukit Shafa, tempat Rasulullah menyampaikan wahyu yang diterimanya dari Allah melalui perantaraan malaikat Jibril kepada para pengikutnya. Di sana sudah ada Khadijah binti Khuwailid, istri beliau. Juga Ali bin Abu Thalib, keponakan Rasulullah yang masih berumur 11 tahun. Ada Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dihadiahkan Khadijah kepada suaminya. Rasulullah yang tidak pernah menginginkan dirinya terjerumus dalam perbudakan manusia atas manusia, segera memerdekakannya dan bahkan mengangkatnya sebagai anak. Juga Bilal, seorang budak berkulit hitam legam yang berasal dari Habsyi. Dan sudah tentu ada Arqam bin Abil Arqam, pemilik rumah.

Di bukit kecil itu, mereka berbai’at kepada Rasulullah, dan menyatakan akan membela kepentingan Islam dan Umat Islam, dengan segala kemampuan yang mereka memiliki. Dengan harta, tenaga, pikiran atau bahkan jiwa mereka. Mereka bertekad untuk tetap berdiri di dalam barisan umat Islam yang dipimpin oleh Rasulullah. Bersatu padu dalam membela kebenaran yang sama-sama mereka yakini. Kebenaran yang bisa mempersatukan mereka dalam sebuah persaudaraan abadi, tanpa ada sekat perbedaan kaya miskin, tua muda, laki-laki perempuan maupun perbedaan suku.
* * * * *

Hanya beberapa hari Thalhah bin Ubaidillah berada di Makkah. Sepanjang hari keberadaannya di kota kelahirannya, ia gunakan untuk menimba ilmu agama Islam dari tangan pertama, Rasulullah Muhammad. Ia harus kembali ke Bushra untuk mengurus misi dagangnya. Dan siang itu, Thalhah kembali menemui Rasulullah.

“Wahai Rasulllah. Sebelum aku bersyahadat di hadapanmu, aku baru kembali dari Bushra. Aku memiliki sedikit urusan dagang di sana. Hari ini, aku mau minta izinmu untuk kembali ke Bushra. Aku harus mengurus misi dagangku disana,” kata Thalhah membuka pembicaraan.

“Jangan terlalu merendah, Thalhah. Aku melihat perkembangan yang pesat pada misi dagangmu disana. Dan kuharap kau akan semakin berhasil. Berangkat lah. Jika mungkin, ajarkan para penduduk Bushra tentang ajaran Islam,” kata Rasulullah.

“Aku ingin memberikan sebagian harta yang kuperoleh dari keuntungan perdaganganku untuk kepentingan umat Islam. Tidak sebanyak yang telah diberikan oleh Abu Bakar, tapi aku berharap pemberianku ada gunanya,” kata Thalhah.

“Apakah yang jau berikan ini bukan modal usahamu ?” tanya Rasulullah.

“Bukan, wahai Rasulullah. Semua ini adalah sebagian keuntungan dari perdagangan yang aku lakukan. Sebagian lagi akan aku gunakan sebagai penambah modal. Aku berharap, perdaganganku di waktu-waktu mendatang akan lebih berhasil sehingga lebih banyak lagi yang bisa aku berikan untuk kepentingan kaum muslimin,” kata Thalhah.

“Terima kasih, Thalhah. Usiamu masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semoga Allah meridhoi perjalananmu,” kata Rasulullah sambil memeluk tubuh Thalhah.

“Terima kasih Rasulullah. Di sela-sela aktivitas dagangku, aku akan selalu menyempatkan diri untuk kembali ke Makkah ini. Aku merasa bahwa pengetahuanku tentang agama Islam masih sangat sedikit. Apalagi aku harus berjauhan dengan dirimu dan sahabat-sahabat lainnya. Suatu saat, aku berharap aku bisa berkumpul dan bersama-sama membela panji-panji kebesaran Allah,” kata Thalhah.

Usai pertemuan itu, Thalhah segera menuruni bukit Shafa. Dengan berjalan kaki, ia bergegas menuju kediaman Zubair bin Awwam, tempat ia terakhir kali menambatkan tali kekang kudanya. Celaka ! Ia tidak menemukan kudanya disana. Di tengah kebingungannya mencari kuda, beberapa orang Quraisy mencoba meringkusnya. Ia tidak mampu berkelit. Kaki dan tangannya diikat dengan tali. Tubuh yang sudah tidak berdaya itu digotong beramai-ramai ke sebuah tanah lapang. Di sana, tubuh itu diikat pada sebatang tonggak kayu.

Tak lama kemudian datanglah serombongan pemuka Quraisy dengan wajah murka. Semuanya membawa cambuk di tangannya. Ibunya, Sha’bah binti Al-Hadrami ada di antaranya. Mulutnya tidak henti-hentinya mengucapkan sumpah serapahnya. Ia tak habis pikir, bagaimana anaknya bisa mengingkari agama yang sudah dipeluk oleh nenek moyang mereka dalam waktu yang begitu lama. Padahal, Thalhah begitu diharapkan menjadi salah satu pemimpin bagi kaumnya.

“Hai Ibnu Abdillah. Kau telah mendustai agama ayah dan ibumu, dan juga agama yang sudah dianut oleh para leluhurmu selama ratusan tahun. Tinggalkan ajaran Muhammad dan kembali lah kepada ajaran nenek moyangmu !” seru slah seorang pemuka Quraisy.

“Tidak. Aku tidak akan kembali kepada ajaran nenek moyangku, karena ajaran mereka tidak benar,” jawab Thalhah.

“Beraninya kau menyalahkan ajaran nenek moyang kita yang sudah ratusan tahun kita ikuti, hanya karena baru beberapa hari ini kau dicuci otak oleh Muhammad,” hardik pemuka Quraisy lainnya.

“Selama ini kita menganggap bahwa kita berada pada kebenaran, padahal sebenarnya kita sudah terperangkap pada jurang kebodohan. Dan kebodohan itu bisa bertahan lama karena semua orang menganggapnya kebenaran dan tidak pernah memikirkannya,” bantah Thalhah. Suaranya semakin lantang.

“Padahal jika kita pikirkan, apa yang bisa dilakukan oleh sebuah patung yang dibuat oleh manusia sendiri ?” tanya Thalhah.

“Beraninya kau menghina sesembahan kami !” hardik seorang pemuka Quraisy sambil mencambuknya berkali-kali. Seketika cambukan itu diikuti oleh para pemuka Quraisy lainnya.

Beberapa bagian tubuh Thalhah memerah diterpa cambuk.

“Kami akan menghentikan cambukan ini jika kau berikrar untuk meninggalkan ajaran Muhammad !” kata salah seorang pemuka Quraisy.

“Aku tidak akan meninggalkannya walaupun aku harus kehilangan nyawaku,” balas Thalhah.

“Dasar anak durhaka,” kata pemuka Quraisy itu sambil kembali mengayunkan cambuknya.

“Hentikan !” Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan hati para pemuka Quraisy. Suara itu keluar dari mulut Naufal binti Khuwailid, saudara Khadijah, istri Rasulullah. Ia adalah seorang pemuka Quraisy yang cukup terpandang. Seketika, siksaan terhadap Thalhah dihentikan. Dari atas kudanya, ia kembali berkata :

“Lepaskan ikatannya, dan biarkan ia pergi !” perintah Naufal lagi.

“Mengapa kita harus melepaskannya ?” tanya salah seorang.

“Karena kita tidak punya alasan untuk menyiksanya. Walaupun Thalhah adalah penduduk Makkah, sebenarnya ia sudah tidak lagi menetap di kota ini. Ia sudah menetap di Bushra. Jadi biarkan lah ia pergi dari sini. Ia tidak akan menjadi penyebar agama Muhammad di kota ini,” jawab Naufal sambil melompat turun dari punggung kuda.

Setelah berpikir sejenak, beberapa orang kemudian segera membebaskan Thalhah. Dengan tertatih-tatih, Thalhah mendekati Naufal bin Khuwailid. Ia menjabat tangan Naufal.

“Terima kasih. Aku tidak akan melupakan jasamu,” kata Thalhah.

“Berangkat lah. Uruslah daganganmu di Bushra. Ambillah kudaku ini !” perintah Naufal sambil menyerahkan tali kekang kudanya.

“Baik. Terima kasih,” jawab Thalhah. Tak lama kemudian, ia sudah berada di atas punggung kuda. Hanya dengan sekali hentakan, kuda itu pun berlari menembus panasnya padang pasir, meninggalkan orang-orang Quraisy yang masih belum bisa mengusir rasa terkejutnya.

1 komentar:

Indra Fathiana mengatakan...

dzan, postingan ini km tulis ulang dg kata2mu sendiri atau copas? aku kok nyari shiroh yg bacaannya 'hidup' agak susah ya.. kebanyakan dibawakan secara textbook gitu. kurang menarik. kalau tulisanmu ini lumayanlah... aku request sahabat bisnismen yg lain yaks :D