Rabu, 22 Oktober 2008

Kisah lain Thalhah

Bushra adalah negeri dengan mayoritas penduduk beragama Nasrani. Thalhah sebenarnya tertarik dengan agama Nasrani, yang menyembah satu Tuhan. Berbeda dengan para penduduk Makkah yang menyembah patung-patung buatannya sendiri. Sejak kecil, ia dibiasakan keluarganya untuk menjadi penyembah patung-patung buatan manusia sendiri. Setelah dewasa, kemampuan berpikirnya tidak bisa menerima ritual penyembahan itu. Bagaimana mungkin patung buatan manusia dianggap sebagai tuhan dan disembah sepanjang hayat.

Dalam setiap perjalanan niaganya, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan para pemuka agama di tempatnya berdagang. Itu sebabnya ia bergabung dengan kafilah dagang yang dipimpin Abu Bakar. Ia tahu bahwa pemimpinnya itu adalah orang yang tidak pernah menyembah berhala. Seorang ahli sejarah bangsa Arab dan juga memahami perbandingan agama. Ia pedagang yang berkepribadian tinggi dan berbudi baik. Ia juga lemah lembut dan penyayang.

Kemarin, di pasar Bushra ia bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Bahram. Pendeta itu berdiri di depan pasar dan menanyakan kepada para pendatang yang masuk ke pasar. Thalhah, yang ingin menuju kiosnya di pasar Bushra pun tak luput dari hadangan pertanyaan dari sang Pendeta.

“Adakah di antara tuan yang berasal dari Makkah ?” tanya sang Pendeta dengan santun kepada Thalhah dan anggota kafilahnya.

“Benar bapak. Kami semua berasal dari Makkah. Mengapa bapak bertanya demikian ?” Thalhah balik bertanya.

“Aku ingin memberi kabar gembira padamu. Sudikah kau mendengarnya ?” tanya sang Pendeta.

“Dengan senang hati,” jawab Thalhah.

“Berdasarkan kajian kami terhadap kitab suci yang kami imani, saat ini telah hadir di tengah bangsa Arab seorang Rasul yang diutus Tuhan sebagai utusanNya yang terakhir di muka bumi. Orang itu bernama Ahmad, dan ia lahir empat puluh tahun yang lalu di Makkah. Banyak orang di negerinya menyebutnya gila karena ajaran yang dibawanya. Hanya sedikit yang mempercayai ajarannya. Salah satunya adalah Abu Quhafah,” begitu keterangan sang Pendeta.

“Abu Quhafah adalah nama lain dari Abu Bakar. Dan aku mengenalnya sebagai orang yang pandai. Tentang Ahmad. Bisakah kau menguraikannya lebih lanjut ?” jawab Thalhah.

“Ahmad adalah anak Abdullah, sekaligus cucu dari Abdul Muthalib. Sejak kecil ia adalah manusia yang terpelihara dari perbuatan jahat. Sayang sekali, banyak anggota kaumnya menjadi penentang utama. Dan itu adalah hal yang biasa. Setiap Nabi selalu ditolak oleh kaumnya. Sampai suatu ketika ia akan hijrah ke luar tanah kelahirannya bersama para pengikutnya. Tapi jangan khawatir. Mereka adalah orang-orang yang dinaungi cahaya Ilahi. Walaupun ajarannya ditentang oleh kaumnya, yakin lah padaku, bahwa apa yang diajarkannya adalah kebenaran hakiki,” papar sang Pendeta.

“Kalau begitu aku mengenalnya. Ahmad, atau Muhammad memang orang yang berbudi luhur. Ia terkenal sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Semua orang di Makkah mengenalnya sebagai Al-Amiin. Aku sependapat denganmu. Muhammad dan Abu Bakar tidak akan mungkin bersekongkol dalam melakukan kebatilan. Keduanya adalah orang yang terpelihara dari perbuatan buruk,” Thalhah memperkuat penjelasan sang Pendeta.

“Kembali lah ke Makkah, dan ikuti ajaran Muhammad. Ajaran itu akan membawamu kepada kesuksesan dunia dan akhirat,” pesan sang Pendeta sambil menjabat tangan Thalhah.

Dan pesan sang pendeta itu mempertebal rasa rindunya pada kehangatan kota Makkah. Rerimbunan daun kurma kota Makkah membayang di ujung angannya. Lambaiannya bagaikan magnet yang menariknya untuk pulang ke tanah kelahiran. Kerinduan menghirup udara Makkah seolah-olah memanggilnya untuk kembali.

Siang itu, ia sudah siap dengan beberapa catatan yang akan diberikan kepada salah seorang budak kepercayaannya. Catatan itu berupa tugas-tugas yang yang harus dilakukan sehari-hari, selama ia kembali ke Makkah. Ia sudah menyiapkan kudanya yang terbaik dan sedikit perbekalan. Jika perjalanan lancar, dalam dua hari perjalanan ia akan sampai di Makkah.

* * * * *










Menjemput Hidayah

Siang itu, Thalhah sudah memasuki wilayah Makkah. Kota kelahiran yang sangat dirindukannya. Disini ia dilahirkan dan juga dibesarkan oleh kasih sayang kedua orang tuanya. Sebagai anak tunggal, ia sangat dimanja. Segala keinginannya sedapat mungkin dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Sebagaimana anak-anak Quraisy lainnya, ia pun sangat mahir menunggang kuda, bergulat dan memanah.

Ia merasakan suasana yang berbeda ketika memasuki kota Makkah. Padahal kota ini baru ditinggalkannya selama tiga bulan. Dan waktu tiga bulan itu tampaknya mampu mengubah suasana. Tidak ada lagi suasana yang akrab. Yang ada hanya perasaan saling curiga. Entah apa gerangan yang terjadi. Aku harus segera mencari tahu penyebabnya, pikir Thalhah. Dan Zubair bin Awwam adalah orang yang tepat. Usia yang tidak terpaut jauh dan pertalian saudara, menyebabkan keduanya sangat akrab. Itu lah sebabnya ia segera memacu kudanya ke arah rumah Zubair. Dan orang yang dicarinya memang ada di rumah. Ia sedang duduk seorang diri di beranda.

“Selamat siang, anak muda. Apa yang kau lakukan di siang hari bolong seperti ini. Ku lihat dari jauh, kau seperti sedang melamun. Apa yang kau pikirkan ?” tanya Thalhah kepada Zubair.

“Hai sahabatku. Kupikir hatimu sudah bertaut dengan Bushra, sehingga kota Makkah sudah kau lupakan. Sudah berbulan-bulan kau tidak menampakkan hidung di sini. Angin apa yang membawamu kembali ke negeri leluhurmu ini ?” Zubair balik bertanya.

“Ha … ha … ha … Pertanyaanku belum lagi kau jawab, kau sudah membalasnya dengan pertanyaan lain. Jawab dulu pertanyaanku. Nanti giliranku menjawab pertanyaanmu !” kata Thalhah sambil tertawa lebar. Zubair hanya tersenyum.

“Sudah beberapa hari ini suasana kota Makkah terasa tegang. Muhammad Al-Amiin telah mengangkat dirinya sebagai Rasul utusan Tuhannya. Hampir semua orang-orang terdekatnya seperti Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah sudah menjadi pengikutnya. Para pemimpin Quraisy menganggapnya sudah gila. Beberapa di antaranya bahkan ada yang mengancam untuk membunuhnya. Sampai saat ini, aku masih berpikir untuk bergabung dengan para pengikut Muhammad yang lain. Aku bimbang,” Zubair berhenti bicara. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ada ganjalan yang membuat dadanya sesak.

“Tadi pagi aku membuntuti Abu Bakar. Ia membawa sesuatu yang diletakkannya di kaki bukit Shafa. Kupikir, itu pasti bahan makanan untuk Muhammad dan para pengikutnya. Tidak mudah bagi Muhammad untuk menampakkan diri, karena saat ini keselamatannya sangat terancam. Aku curiga, Abu Bakar sudah menjadi pengikut Muhammad. Aku pun bertanya hal ini langsung kepadanya. Dan hal itu diakuinya. Bahkan ia mengajakku untuk menemui Muhammad nanti malam. Aku masih berpikir-pikir untuk mengikuti ajakannya. Ceritaku sudah selesai. Dan kini, giliranmu menjawab pertanyaanku,” Zubair mengakhiri ceritanya.

“Baik. Walaupun aku mencari penghidupan di negeri lain, kecintaanku pada negeri ini tidak akan pernah pudar. Tiga bulan meninggalkan kota ini adalah waktu yang terlalu lama bagiku. Dan menjelang kepulanganku, aku bertemu dan sempat berdiskusi dengan seorang pendeta yang tinggal di Bushra. Ia berpesan padaku untuk mengikuti ajaran Muhammad. Menurut kajian yang ia pelajari dari kitab sucinya, ia memastikan bahwa saat-saat ini lah akan ada pengangkatan Rasul terakhir setelah nabi Isa. Dan kota Makkah lah yang mendapat kehormatan menjadi tempat perkembangan agama Tuhan. Jika ku hubungkan dengan ceritamu, aku bisa menyimpulkan bahwa Muhammad tidak berdusta. Dan sepanjang perkenalanku dengannya, belum pernah sekalipun ia berdusta. Tak salah lagi, ia adalah Rasul terakhir, dan kesempatan kita untuk hidup dalam peradaban yang lebih baik semakin terbuka,” kata Thalhah.

“Jadi kau pulang hanya untuk menemui Muhammad, dan menjadi pengikutnya ?” tanya Zubair.

“Tadinya aku pulang karena rindu pada kehangatan kota ini. Tapi setelah aku mendengar penuturan pendeta Bahram di Bushra, tujuan utamaku kembali ke Makkah adalah untuk menjadi pengikut Muhammad,” jawab Thalhah mantap.

“Kau tidak ingin meneliti kebenaran ajaran Muhammad sebelum membuat keputusan yang begitu penting bagi hidupmu ?” tanya Zubair lagi. Ia sangat heran melihat polah sahabatnya. Tidak biasanya Thalhah seyakin itu. Apalagi pada hal-hal yang belum pernah ditemuinya.

“Dan kau ingin segera berjumpa dengan Muhammad ?” tanya Zubair lagi.

“Apa yang dikatakan pendeta Bahram sudah bisa meyakinkanku. Dan jika mungkin, aku ingin menemui Muhammad sekarang juga !” jawab Thalhah.

“Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan Muhammad. Abu Bakar mungkin pengecualian. Nanti malam, ia mengajakku untuk menemui Muhammad. Dan aku menyanggupinya ….” Kata Zubair.

“Aku akan ikut menemui Muhammad nanti malam,” potong Thalhah.

“Ya. Usai matahari terbenam, kita akan bersama-sama berangkat menuju kaki bukit Shafa. Pesan Abu Bakar, kita tidak diperbolehkan membawa kendaraan. Derap kaki dan ringkik kuda akan menimbulkan kecurigaan banyak orang. Apalagi di malam hari, ketika banyak orang di negeri ini sedang asyik tidur. Jadi sebaiknya kita berjalan kaki. Ada baiknya pula jika kita mengenakan pakaian berwarna gelap. Dari sana, Abu Bakar akan mengajak kita menuju ke tempat persembunyian Muhammad. Aku tak tahu, siapa lagi orang yang akan ikut serta nanti malam,” kata Zubair.

“Baiklah. Sambil menunggu datangnya malam, aku akan pulang ke rumah orang tuaku dahulu. Aku pun rindu pada mereka. Sebelum matahari terbenam, aku akan kembali kesini. Kita akan berangkat bersama menuju kaki bukit Shafa,” kata Thalhah dengan bersemangat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

lanjut bang ceritanyaa :D