Kita flashback ke 15 abad yang lalu...
tulisan Bang Jay yang layak di dokumentasikan
Pedagang berkebangsaan Arab itu masih sangat muda, tetapi semangat berdagangnya sangat besar. Usianya masih belasan tahun, tetapi ia sudah datang ke negeri Bushra dengan kafilah dagang yang cukup besar. Ia adalah Thalhah bin Ubaidilah, seorang saudagar muda asal negeri Makkah.
Tiga bulan yang lalu ia berangkat dari Makkah dengan membawa tiga ekor unta yang sarat dengan muatan barang2 dagangan khas dari jazirah Arab seperti kurma dan gandum. Bahan makanan seperti ini sangat laku di Bushra, yang tanahnya gersang. Harganya pun jauh lebih tinggi daripada di negeri asalnya.
Ia juga membawa dua orang budak yang bertugas menjajakan dagangannya di pasar. Mereka memang budak, tetapi Thalhah memperlakukan mereka tidak seperti orang-orang Arab umumnya memperlakukan budak. Ia menetapkan jam kerja yang manusiawi bagi mereka. Di luar jam kerja itu, mereka bisa melakukan aktifitas lainnya diluar rumah yang disewanya di Bushra.
Mereka pun beristirahat dengan leluasa. Dan bila Thalhah membutuhkan bantuan di luar jam kerja, mereka pasti akan mendapatkan hadiah berupa makanan ataupun pakaian. Tidak ada sumpah serapah atau lecutan cambuk.
Beberapa bulan sebelumnya, ia masih menjadi bagian dari kafilah dagang Abu Bakar. Terakhir, ia mengikuti saudagar tua yang sarat pengalaman dagang itu berniaga ke negeri Syam. Dari perjalanan itu, ia memperoleh cukup banyak keuntungan yang bisa digunakannya sebagai modal untuk berdiri sendiri. Bahkan Abu Bakar bersedia memberinya bantuan modal ketika ia mengutarakan maksudnya untuk memulai usaha dagangnya sendiri. Niat baik Abu Bakar dan baik budi itu ditolaknya dengan halus. Ia merasa cukup dengan modal yang dimilikinya.
Dalam perjalanan pulang ke negeri Mekkah, mereka harus melintasi sebuah kota kecil bernama Bushra. Seluruh anggota kafilah terpaksa menginap disini karena hari sudah menjelang malam ketika mereka tiba di batas negeri ini. Dalam pengamatan Thalhah, negeri ini adalah negeri yang tandus dan gersang.
Tanaman hanya tumbuh pada musim hujan. Di luar musim itu, nyaris tidak ada tanaman yang bisa bertahan hidup. Itulah sebabnya negeri ini sangat kekurangan bahan makanan, terutama pada musim kemarau. Dan keadaan inilah yang tercium oleh naluri dagangnya.
Untuk mempertajam hasil pengamatannya, Thalhah meminta izin kepada Abu Bakar untuk tinggal lebih lama di Bushra. Selain itu Thalhah juga menitipkan sebagian barang bawaannya. Permintaan itu diluluskan Abu Bakar. Saudagar baik budi ini pun meminjamkan seekor kudanya sebagai kendaraan Thalhah. Esok paginya ketika kafilah dagang Abu Bakar mulai bergerak kembali menuju Makkah, Thalhah memulai pengamatannya di negeri yang miskin hasil pertanian ini.
Pada mulanya ia merasa sangat heran. Bagaimana mungkin negeri tandus seperti Bushra ini tingkat ekonominya cukup tinggi? Rumah-rumah penduduk disini tergolong cukup besar dan terbuat dari batu. Biaya pembuatannya pasti cukup mahal.
Walaupun masih muda usia, ia sudah cukup berpengalaman. Misi dagangnya bersama Abu Bakar sudah melintasi berbagai negeri yang sangat jauh dari kampung halamannya. Biasanya ia menemui kemiskinan di negeri-negeri gersang seperti ini. Tapi Bushra adalah pengecualian.
Walaupun gersang, negeri ini cukup makmur. Di beberapa pasar yang didatanginya, ia menyaksikan sendiri bagaimana penduduk Bushra membelanjakan uangnya. Daya beli mereka sangat tinggi. Bahan-bahan makanan yang di beli di Makkah harganya sangat mudah dipasar itu dijual dengan harga dua atau tiga kali lipat. Itu pun laku keras.
Thalhah semakin penasaran. Dari mana para penduduk Bushra memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
Darimana hayo?
lanjut besok ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar