Kamis, 26 Juni 2008

Harga yang harus dibayar untuk menjadi pengusaha

Setiap pilihan pasti berdampak sebuah konsekuensi.
Apapun profesi kita, semua menuntut kerja keras.
Tidak ada dalam sejarah bahwa orang-orang besar adalah orang-orang yang pemalas.
Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak berhenti berpikir, bekerja, dan terus berkarya.

Masalah jadi pengusaha, profesional, engineer atau apapun hanyalah masalah pilihan.

Misalkan kita masih sekolah atau kuliah. Saat itu kita pun memulai untuk berwirausaha. Pada saat yang sama teman kita, sebut saja B, memilih berhenti sekolah atau kuliah untuk fokus berwirausaha. Lalu apa hasilnya?

Jelas saja B tidak lulus sekolah. Dan secara logika, B akan menjadi pengusaha yang lebih sukses dari kita. Ini adalah masalah pilihan. Dan tidak mendapatkan ijazah adalah harga yang harus dibayar oleh B untuk menjadi pengusaha sukses.

Kisah lain misalnya,
Kita selalu bekerja keras. Dari jam 08.00 sampai jam 17.00 kita mengurus usaha kita. Sehabis itu kita beristirahat. Bersenda gurau bersama teman ataupun keluarga. Tapi yuk kita amati "tetangga" kita. Mereka terus bekerja, bekerja, dan bekerja hingga pagi untuk membesarkan usahanya. Lalu apa yang bisa kita tebak ke depannya? Perusahaan mana yang akan lebih maju? perusahaan kita atau perusahaan "tetangga" kita? ya anak TK juga bisa jawab lah hehehe..

Suatu saat saya diskusi dengan seorang teman di Norway
teman : Dzan ada peluang usaha baru ga
saya : selalu ada. mau yang kayak gimana
teman : ya jangan yang modalnya besar
saya : okay ada.
teman : tapi kalo bisa yang bisa gw kontrol dari sini juga
saya : kenapa ga internet marketing aja?
teman : yah harus usaha lagi donk buat isi content (maksudnya garap e-book)
saya : loh jadinya mau usaha yang kayak gimana?
teman : yang modal dikit, untung gede, dan gw ga capek
saya : ya gw juga mau klo ada

Ya ilustrasi diatas menggambarkan maksud tulisan saya. Bahwa ada harga yang harus dibayar dari sebuah perjuangan. Inget kata Pak Hantiar, Tak Ada Kejayaan Tanpa Adanya Pengorbanan

Dalam kasus ini tentu saja pengusaha.
1. Ada orang yang punya duit, tapi ga punya waktu dan tenaga (termasuk skill)
2. Ada orang punya skill, tapi ga punya duit dan waktu
3. Ada orang punya waktu, tapi ga punya skill dan duit

Nah lalu kita ada dimana..
Kita punya duit, kita punya waktu, tapi ga punya skill... ya belajar!
Kita punya duit, punya skill, tapi ga ada waktu... ya delegasikan!
Kita punya skill, punya waktu, tapi ga punya duit ... ya cari tipe orang nomor 1 diatas
Kita punya duit, punya skill, punya waktu... tunggu apalagi!! mulailah berkarya!

Tapi sayang pada prakteknya susah sekali tiga elemen ini berkumpul, maka dari itu jangan sombong. Kita tetap selalu butuh orang lain.

Cuma jangan jadi konyol juga..
biasanya yang terjadi kayak gini, udah ga punya duit, trus ga mau luangin waktu (asik aja abisin waktu buat senang-senang, males bekerja), dan ga punya skill (males belajar). Trus apa yang kita harapkan outputnya? bisa ketebak kan!

Konyolnya lagi berpikir bahwa jadi pengusaha pasti ada masa pensiun-nya. Bisa punya waktu luang banyak, dan lain-lain. Wah kalo yang tipe begini saya sarankan banting stir aja. Ga usah jadi pengusaha...

Pengusaha itu bekerja karena passion. Pengusaha sejati bekerja karena rasa cinta. Pengusaha sejati sangat menikmati proses, bukan berorientasi hasil. Karena itu biasanya pengusaha sejati terlihat selalu senang walau tidur hanya 3-4 jam per hari. Tidak kenal rasa lelah, karena ia bekerja karena rasa cintanya. Bukan karena mengharap hasilnya.

Coba aja liat pengusaha-pengusaha sukses, adakah yang bermalas-malasan walau sudah mapan? tidak ada. Kalo ga percaya buktikan sendiri. Ikutin aja kesehariannya.

Jadi, bekerja keras, jam kerja yang tinggi, selalu belajar, adalah harga yang harus dibayar oleh pengusaha. Tetapi pengusaha sejati melakukannya dengan rasa suka dan happy :)

Nah, pertanyaannya, berapa harga yang harus kita bayar untuk menjadi pengusaha sukses? Beranikah kita "membayar" lebih dari Bill Gates yang rela DO dari kuliahnya, atau Kolonel Sanders yang pantang menyerah menawarkan produknya, atau Pak Hadi sang Raja Selimut yang berani menurunkan gaya hidupnya dan perlahan kembali ke kampung? Beranikah kita...

Jangan senewen makanya liat orang lain sukses kalo kita sendiri ga MAU untuk membayar seharga yang mereka bisa

Yuk ah, kita juga bisa kok..
tunggu apalagi!

http://adzan101.blogspot.com

1 komentar:

Zidni mengatakan...

kayaknya temen di norwaynya kenal deh :)